Rabu, 16 Juli 2008

Sudah Tua Bukan Jaminan


Kalau ngomongin soal asdom sih (asdom lho bukan asdos, alias asisten domestik, alias PRT) bisa nggak habis-habis rasanya. Soalnya pengalamanku dengan asdom cukup banyak, dari sejak belum punya asdom sendiri (masih numpang asdom ortu maksudnya) sampai menikah dan merasakan punya asisten sendiri. Dari dulu aku sering melihat ibuku pusing gara-gara urusan asisten ini tanpa pernah berpikir bahwa suatu hari aku akan mengalami kesulitan yang sama.

Aku bukan orang yang betah mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehingga untukku memiliki asisten jadi suatu keharusan sejak awal rumah tanggaku terbentuk. Apalagi saat itu aku masih bekerja kantoran. Tepat ketika aku akan menempati rumah baruku, ibuku mencarikan seorang asisten baru. Dari awal aku sudah menegaskan aku tidak mau punya asisten remaja atau usia puber karena asisten ini akan banyak waktu sendirian di rumah semasa aku dan suami bekerja. Daripada nanti pacaran terus macam-macam, aku minta yang sudah berumur. Asisten pertama yang aku dapat ini memang sudah cukup berumur, bahkan sudah punya cucu. Memang dia janda dan masih sangat kuat bekerja, tapi mengingat statusnya sudah “nenek-nenek” aku merasa lebih tenang meninggalkannya di rumah.

Sebagai majikan aku termasuk yang “nggak neko-neko”. Setiap hari aku pergi pagi dan pulang malam. Kalau berniat pulang cepat barulah aku minta ia memasak dengan menyebutkan menu apa saja yang harus dimasak. Jadi sehari-hari memang pekerjaannya tidak seberapa banyak, hanya beres-beres rumah lalu mencuci dan menyetrika sedikit baju.

Hanya saja dari awal aku merasa agak kurang sreg dengan asisten ini. Entah kenapa aku merasa ucapannya terlalu menjilat. Dan ia suka sekali mengobrol kesana-kemari. Tapi karena aku jarang di rumah aku tidak merasa terlalu terganggu. Tidak lama kemudian aku hamil dan ternyata letak plasentaku di belakang sehingga mudah sekali terguncang dan mengalami pendarahan. Akibatnya berkali-kali aku harus bedrest. Karena sering di rumah ini aku jadi melihat hal-hal yang sebelumnya tidak aku sadari. Mulai banyak pengaduan dari orang-orang bahwa si asistenku ini sedang naksir salah seorang penghuni rumah seberang yang kebetulan isinya memang pekerja laki-laki semua yang mengontrak bersama. Disitu aku baru ngeh kenapa gerangan makanan di rumahku habis melulu, malah seringkali belum sempat dimakan sudah menghilang. Suamiku juga mendapat pengaduan serupa dari tetangga laki-laki. Mengingat umurnya yang sudah jauh di atasku, aku memutuskan untuk meminta ibuku saja yang menegurnya baik-baik agar ia tidak tersinggung.

Tapi ternyata asistenku ini jenis orang yang bermuka dua. Begitu ditegur dia bersumpah-sumpah dan akhirnya berya-ya saja, tapi di belakang dia menyimpan dendam yang baru kuketahui kemudian. Semakin hari kulihat ia malah semakin bertingkah. Semakin genit dan lama-lama aku menangkap gejala dia mencoba mengambil hati suamiku. Asli bukan paranoid. Pernah ketika aku lagi kepengin banget makan sayur lodeh, aku minta dibuatkan sayur lodeh dan ayam. Namanya orang hamil, itu makanan sudah terbayang-bayang sejak dari kantor. Begitu sampai rumah aku buru-buru ke meja makan dan ternyata dia malah masak pepes tahu! Begitu aku tanyakan kenapa dia tidak memasak makanan yang aku pesan, dia bilang sambil tersenyum-senyum genit bahwa itu kan kesukaan suamiku!

Lalu aku melahirkan dan tinggal dulu di rumah orangtua yang kebetulan cukup dekat dari rumahku sampai betul-betul sehat pasca operasi. Aku mengambil lagi seorang asisten khusus untuk mengurusi peralatan bayi supaya asisten yang lama tidak terlalu berat kerjanya. Sesekali aku meminta tolong ibuku untuk menengok rumahku. Setiap kali pulang dari rumahku ibuku pasti marah, katanya asistenku semakin ngaco. Rumah berantakan terus. Dan asistenku itu pergi-pergi melulu. Lalu aku suruh asistenku itu membantu saja di rumah ibuku setelah membereskan rumah, toh di rumahku tidak ada pekerjaan apa-apa lagi. Setiap hari dia datang siang, dan di rumah ibuku pekerjaannya juga tidak beres-beres, malah ribut terus dengan asisten baruku dan asisten ibuku.

Aku masih bersabar. Aku belajar dari ibuku untuk tidak terlalu menuntut kesempurnaan dari seorang asisten. Manusia memang tidak ada yang sempurna, jadi aku masih memberi dia kesempatan setelah menegurnya beberapa kali agar dia berubah.

Bahkan ketika aku menangkap basah dia mengutil uang belanjaan dan membohongi aku dengan membeli air isi ulang tapi melaporkan bahwa yang dibelinya adalah air galon AQUA, aku masih memaafkannya. Aku mengetahuinya dari saudaraku yang juga tetanggaku. Aku menegur dia baik-baik dan memintanya jangan mengulangi lagi karena dia mempertaruhkan kesehatan orang serumah.

Kesabaranku habis ketika suatu hari tetangga-tetangga dekatku, termasuk saudaraku, memberitahuku bahwa asistenku itu seperti ‘ular’. Di hadapan kita dia menjilat-jilat sampai memuji padahal di belakang dia menjelek-jelekkan kita habis-habisan. Kesukaannya berkunjung ke tetangga, bergosip entah apa. Dia bicara pada orang-orang bahwa aku ini perempuan pemalas yang tidak pernah mau membantu dia bekerja. Mengingat aku bekerja di kantor dari pagi sampai malam, hamil pula, pendarahan terus pula, menurutku yang bodoh adalah orang yang percaya begitu saja dengan omongannya. Padahal setiap akhir minggu aku yang memasak karena sebenarnya dia tidak begitu bisa memasak. Kalau hanya ‘ngerasani’ aku sih aku masih bisa berlapang dada, tapi yang membuat aku meledak adalah dia menghina dan menjelek-jelekkan ibuku pada orang-orang karena ibuku sering menegurnya. Ibuku beginilah begitulah...Saat itu aku memutuskan bahwa dia sudah terlalu banyak diberi kesempatan dan tidak juga berubah. Maka aku langsung menelpon ibuku dan meminta dia dipulangkan saja.

Ibuku marah besar ketika tahu alasan aku memutuskan untuk memberhentikan asisten itu. Begitu tahu akan diberhentikan, asistenku itu langsung menangis-nangis meminta maaf dan bersumpah-sumpah ia tidak bicara ini itu. Namanya sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak akan percaya, aku sudah nggak bisa lagi mempercayai omongannya. Dan aku tahu saat itu memang dia berbohong. Akhirnya dia dipulangkan juga. Begitu dia dipulangkan semakin banyaklah keluar omongan-omongan orang bahwa selama ini dia memang begini-begitu. Ah, kenapa nggak dari dulu semua itu disampaikan padaku? Kan bisa mencegah hal-hal yang lebih buruk. Tapi mungkin memang skenario Allah harus begitu agar aku bisa mengambil ibrah.

Dari peristiwa dengan asisten pertamaku ini aku belajar satu hal penting dalam memilih asisten: “Nenek-nenek” tidak berarti pasti tahan godaan pria!

ditulis oleh Tria Barmawi
diposting di: http://triabarmawi.multiply.com/journal/item/98
gambar dicomot dari: sini

Tidak ada komentar: