Selasa, 16 September 2008

Asdom + Narkoba (1)


Selama hidup gue yang baru sepotong ini, baru kali ini merasakan hidup dalam teror mental. Teror fisik, mental dan perasaan? Yup. Bayangkan Anda tidur dengan seekor ular berbisa di bawah kasur Anda. Walaupun tidak diketemukan oleh Anda namun Anda tahu pasti ada seekor ular di bawah sana karena banyak yang sudah melihatnya dan mereka menjerit-jerit meminta Anda pergi dari situ. Yah...... kira2 begitulah yang gue rasakan selama seminggu (21/09/06 sampai 27/09/06).

Sudah 3 bulan ini, gue merasa mendapatkan jackpot karena telah mendapatkan seorang pembantu idaman yang selama ini gue cari. Rajin, asertif, pro aktif dan tidak rewel sama sekali, pokoknya dia OK banget dah! Rasa2nya Too good to be true deh, dan ternyata emang benar feeling gue (feeling so good!). Sang pembantu, Ilyan (nama samaran --- dia minta namanya dirahasiakan, malu katanya), tiba2 minta berbicara berdua saja dengan gue. Kaget? Jelas dong, langsung semua indera gue bergetar2 menahan perasaan (biasanya kalau pembantu udah 3 bulan minta bicara pasti artinya adaaaaa aja alasannya untuk minta berhenti). Akhirnya kita ke kebun untuk berbicara.

Selama 5 menit awal kita cuma ngobrol ngalor ngidul mulai soal jerawat sampai soal kesehatan, dan perlahan2 gue mulai merasa bahwa Ilyan sebenernya punya maksud lain cuma berat buat dia untuk mulai. Gue pancing2, akhirnya doi buka mulut. Ternyata, doi minta tolong. Minta tolong untuk disembuhkan dari kecanduan narkoba. JRENG........ JRENG....... JRENG......... gue sampai kaget dan sempat tidak percaya dengan pengakuannya yang super polos itu.

Ilyan, 19 tahun, asal Bogor. Gadis hitam manis, yang selama ini gue kenal sebagai anak yang rajin, pro aktif, asertif, biasanya ceria (sebenernya moodnya tidak dapat ditebak --- kadang ceria, kadang jutek berat) koq bisa2nya jadi pencandu narkoba? Ternyata dari ceritanya, doi sudah memakai narkoba sejak doi berumur 13 tahun. 13 TAHUN? JRENG...... JRENG...... JRENG.......(lagi) gue nyaris pingsan nahan perasaan. Jadi udah 6 tahun ini doi make barang2 jahanam itu. Langsung gue tanya bagaimana caranya dia bisa make tuh barang sejak di rumah gue. Jawabannya benar2 menghancurkan hati. Doi nelpon teman bandarnya (make Hpnya sendiri) untuk supply barang ke rumah gue saat gue sekeluarga sedang keluar rumah. Gile benerrrrr. Gue kecolongan. Cara supplynya, si bandar ngelempar tuh barang lewat pager depan rumah gue atau kadang diselipin di ceruk pohon depan rumah atau kadang nunggu di pos hansip pas depan rumah gue. Hebat ngak tuh cara kerjanya. Asal tahu aja, semua pembantu gue ngak ada yang boleh keluar pagar rumah kecuali untuk buang sampah, belanja sayur dan nyapu halaman. Akses telpon juga dibatasi tapi percuma lah sekarang...... pembokat masa kini semua udah pada punya HP sendiri2. Hebatnya lagi, tuh bandar narkoba domisilinya khan di Bogor koq bisa2nya ke Jakarta demi ngempanin Ilyan doang dan pasnya lagi koq bisa saat gue sekeluarga ngak ada di rumah (gue jarang keluar rumah, biasanya kalau gue keluar laki gue yang di rumah dan biasanya kalau kita pergi paling lama cuman 2 – 3 jam doang). Dasar kalau emang udah niat semua juga bisa diterabas. Oh Tuhan.........

Marah, kecewa, sedih, takut dan panik. Semua perasaan negatif langsung nyerbu sekaligus. Saking datangnya berbarengan gue sampai ngak tahu musti berbuat apa. Tapi...... dalam hati terdalam ada rasa kasihan ngelihat anak ini. Gimana ngak kasihan coba, umur masih muda, masa depan masih panjang, doi udah nelen harga dirinya dengan mengaku ke gue secara terus terang (ini point yang bikin gue kagum ama dia) dan bukankah ini sama dengan jeritan minta tolong?

Dengan memasang muka poker, gue tetap memancing apa yang dirasakannya sampai sekarang. Dari ceritanya, gue jadi tambah patah hati mendengarnya. Ternyata Ilyan adalah anak 3 dari 4 saudara seorang pengusaha meubel mapan di daerah Bogor. Sejak kecil Ilyan merasa tidak dicintai oleh kedua orang tuanya. Menurut ceritanya, sang ortu hanya menyayangi anak I dan IV saja (cowoq). Sedangkan dia dan kakak perempuannya hanyalah warga kelas 2 dalam keluarganya. Ibunya hanya ikutan bapaknya saja. Jadi, saat Ilyan mulai sadar akan perbedaan sikap ortunya (waktu umur 12-13 tahun), Ilyan menjadi kecewa dan frustasi karena tidak ada tempat untuk mengadu. Oh ya, Ilyan sebelumnya bersekolah di Tsanawiyah setempat yang cukup baik. Tetapi mulai dari sanalah juga dia mengenal teman2 sekolahnya yang ternyata adalah pencandu dan bandar narkoba. Di saat2 usia remajanya yang memerlukan pengakuan dan penerimaan itulah Ilyan mulai mengenal narkoba. Barang pertama yang dipakainya adalah obat (kalau ngak salah BK). Sekali dipakai rasanya langsung enak, jadi lebih berani, dan bawaannya jadi asyik banget gitu loh (ini sih katanya Ilyan sendiri). Sejak saat itu setiap kali di rumahnya terjadi pertengkaran, Ilyan akan melarikan diri ke daerah Dermaga* (pos ngumpulnya anak2 ‘terbang’). Di situ dia bisa nginap sampai berhari2 sampai harus dipanggil pulang oleh ibunya. Yang akhirnya sampai di rumah malah jadi perkelahian dan akhirnya Ilyan kabur lagi ke Dermaga. Benar2 lingkaran setan!

Setelah beberapa kali kabur akhirnya Ilyan benar2 kabur meninggalkan rumah dengan jalan merantau ke Jakarta. Di Jakarta, Ilyan kerja serabutan. Kadang jadi penjaga toko, pembantu rumah tangga atau jadi pelayan kantin. Namun semua pekerjaan itu umurnya tidak bisa lebih panjang dari 10 bulan. Gimana bisa lebih dari 10 bulan, lah wong masih jadi pemakai begitu loh. Rata2 Ilyan keluar dari pekerjaannya karena di pecat atau karena Ilyannya sendiri yang minta keluar karena sakaw. Selama waktu Ilyan tidak bekerja, dia ditampung oleh temannya (sesama pemakai) yang tinggal di Tanah Abang*. Nah looooo.......... Di sana resume narkobanya semakin bertambah panjang. Mulai dari BK, Rohypnol, Magadon sampai akhirnya putauw dengan cara nyuntik beramai2 sudah dilakukannya. Gue sampai bergidik dengernya. Bayangkan selama 3 bulan ini artinya gue sekeluarga sudah hidup dengan orang yang beresiko menularkan penyakit Hepatitis dan HIV dong.........tapi demi supaya si Ilyan merasa nyaman menceritakan semua beban hatinya selama ini gue tetap harus menjaga ketenangan hati gue. Dalam hati, gue udah berserah sama Tuhan. Kalau mau mati mah tidak harus karena Hepatitis ataupun AIDS, ketabrak mobil atau tiba2 kompor meleduk juga bisa, ya udah gue berdoa dalam hati supaya Tuhan yang bekerja dalam masalah ini.

Balik ke cerita Ilyan. Menurut Ilyan, dia pengen berhenti tapi susah banget. Bujukan dari teman2nya lebih kuat dan dia benar2 tergantung dengan penerimaan teman2nya itu. Ah elo ngak asyik kalo ngak make, Il atau payah lo make begini aja ngak berani, demikian biasanya hasutan teman2nya itu setiap kali Ilyan menolak memakai ‘barang2 jahanam’ itu. Konyolnya lagi si Ilyan benar2 tergantung sama pendapat teman2nya itu, jadilah Ilyan sibuk membela teman2nya kalau gue bilang kalau teman2 macam itu sebaiknya ditinggalkan. Bener2 pusing gue.

Gileeeee panjang amat cerita gue. Nanti ah berlanjut di jurnal selanjutnya. Tapi kalau ada yang mau sumbang saran dan ide untuk bagaimana menghadapi Ilyan, gue akan sangat berterima kasih.

Catatan:

* Dermaga adalah sebuah daerah di Bogor yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya bandar2 narkoba. Gue tahunya juga dari si Ilyan.

* Tanah Abang juga notoriously known as pusatnya narkoba di Jakarta.

Tidak ada komentar: